Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2024

Lentera

Sembeng Tedeng  Di sudut gelap yang sunyi, kulihat lentera kecil menyala, berpendar lirih di tengah malam, seakan menantang gelap yang pekat. Ia tak megah, tak gemerlap, namun cahaya itu tetap hidup, menyala demi yang tersesat, memberi arah bagi hati yang redup. Lentera itu bukan sekadar api, ia adalah harap yang tak mati, meski angin mencoba memadamkan, meski hujan ingin menghapus terang. Seperti hidup, lentera itu mengajarkan, kecil bukan berarti lemah, sendiri bukan berarti sia-sia, karena cahaya kecil pun mampu menerangi semesta. Maka jadilah lentera bagi dunia, meski tak disorot, meski tak dipuja, cahayamu adalah arti, bagi mereka yang mencari jalan pulang.

Malam Kesenian Natal Bersama UNIKA St. Paulus Ruteng di Stasi Ngkaer

Sembeng Tedeng   Berita ini ditulis oleh Yohanes Alfiano Putra  dari Universitas Flores Ende, asal prodi sistem informasi  Ngkaer, 25 Desember 2024 – Dalam semangat sukacita Natal, Stasi Ngkaer menyelenggarakan malam kesenian bertajuk “Natal Bersama”, yang diisi dengan berbagai penampilan seni dan budaya dari komunitas setempat dan mahasiswa UNIKA St. Paulus Ruteng. Acara ini berlangsung meriah di balai pertemuan Stasi Ngkaer dan dihadiri oleh umat dari berbagai kalangan. Acara dimulai dengan doa pembuka dan sambutan hangat dari tokoh gereja setempat, yang mengingatkan pentingnya Natal sebagai momen refleksi dan persatuan. Kemudian, malam penuh makna ini diisi oleh beragam penampilan seni, di antaranya:  Drama Inspiratif Mahasiswa UNIKA St. Paulus Ruteng membawakan sebuah drama bertema “Pemuda yang Jatuh dalam Dosa”. Kisah ini mengangkat perjalanan seorang pemuda yang tersesat dalam kegelapan dosa, namun menemukan jalan kembali melalui kasih T...

Hujan Di Bulan Desember

Sembeng Tedeng   Hujan turun di bulan Desember, Menghapus debu di jalan-jalan kenangan, Angin membawa harum tanah basah, Seperti bisikan lembut kampung halaman. Di desa Ngkaer, tempat rindu berlabuh, Ladang hijau dan bukit yang teduh, Di sana tawa teman dan keluarga terukir, Dalam ingatan, tak pernah pudar. Hujan memanggil suara masa kecil, Langkah kecil berlari di tanah licin, Bermain di bawah pohon, bercanda riang, Mengukir bahagia dalam setiap detik siang. Di ujung senja, ibu menjerang kopi, Ayah bercerita tentang masa lalu yang sunyi, Sementara hujan berdansa di atap bambu, Mengiringi malam yang penuh hangat rindu. Desember selalu membawa pesan, Tentang cinta yang sederhana dan tak lekang, Aku di sini, memandang hujan di kejauhan, Namun hati selalu kembali, ke kampung halaman.

Fajar

Sembeng Tedeng   Dalam diam malam, gelap berbisik pada waktu, mengantar langkah lembut sang fajar. Ia datang tanpa suara, membelah gelap dengan sinar yang malu-malu. Fajar adalah janji, bahwa akhir bukanlah kehampaan, melainkan awal bagi yang berani bermimpi. Cahaya jingga perlahan menyentuh cakrawala, menyulam warna pada harapan yang nyaris pudar. Embun pagi merangkai doa, menitipkan harapan pada hari yang baru. Oh, fajar, kau adalah sajak alam yang tak pernah ingkar, membisikkan keberanian pada jiwa yang hampir menyerah.

Penghujung Tahun

Sembeng Tedeng   Desember mengetuk dengan irama lembut, Menyapu tahun yang hampir larut. Di Auditorium H.J. Gdejou yang megah, Harmoni suara menggema indah. Paduan suara, jiwa yang bersatu, Nada-nada berpadu melintasi waktu. Di setiap lirik, ada cerita, Mengiringi akhir tahun dengan cinta. Lampu-lampu panggung berkilauan, Semangat peserta kian terpancarkan. Dan lewat layar, dunia menyaksikan, Sebuah kisah dalam live streaming yang menawan. Ini bukan hanya tentang lomba, Tapi tentang kebersamaan yang tak tergoyah. Di penghujung tahun, kita berjumpa, Menyulam harapan untuk masa yang cerah. Desember berlalu, namun kenangan tinggal, Membawa kehangatan dalam hati yang gemilang. Kegiatanku di akhir tahun ini, Menjadi kisah indah yang abadi.

Puisi Secangkir Kopi, Buku, dan Laptop di Atas Meja

Sembeng Tedeng   Di atas meja kayu yang tak seberapa luas, Terhampar dunia dalam bentuk berbeda, Secangkir kopi mengepul perlahan, Bau pahitnya merayu pagi yang dingin. Di sebelahnya, buku terbuka setengah, Kata-kata di dalamnya memanggil pelan, Kisah yang membentang dari masa ke masa, Menjadi teman setia di sela waktu. Laptop menyala, layar penuh cahaya, Tulisan-tulisan berbaris rapi, menanti disentuh, Di sini ide bertemu teknologi, Menganyam mimpi dalam dunia digital. Secangkir kopi memberi jeda, Saat pikiran butuh kehangatan sederhana, Buku membawa imajinasi terbang, Saat kenyataan terasa terlalu tajam. Laptop menyambung jembatan, Antara rencana dan kenyataan, Di atas meja ini, semua berpadu, Kopi, buku, dan laptop—duniaku yang utuh. .

Aku Di Buli

Sembeng Tedeng  Di setiap langkah, aku terjatuh, kata-kata tajam menusuk tanpa ampun, seperti pisau yang mengiris hati, mereka tertawa, dan aku terdiam, terluka. Aku hanya ingin jadi diri sendiri, tapi mereka menjadikan aku sasaran, kata-kata hina mengalir deras, menjadi kenangan pahit yang tak bisa hilang. Mereka bilang aku lemah, tak berharga, tak pantas ada, tapi mereka tak tahu, setiap kata yang mereka lontarkan adalah luka yang menggores jiwa. Di dalam malam aku menangis, sendiri, tak ada yang mendengar, hanya bisu dan gelap yang mengerti, betapa sakitnya hidup yang terpinggirkan. Aku ingin berteriak, tapi suaraku terkunci, dalam kebisuan yang memekik di dalam dada, karena mereka tak pernah tahu, betapa besar beban yang kutanggung sendirian. Aku di buli, tapi aku masih berharap, suatu saat nanti, akan ada yang melihat, dan memberikan aku harapan baru, untuk melanjutkan hidup ini, tanpa rasa malu dan takut.

Kunang Kunang Di Atas Bunga

Sembeng Tedeng  Di atas kelopak bunga yang merekah, Kunang-kunang singgah dengan megah. Cahayanya lembut membelai malam, Seperti bisikan cinta yang menyejukkan alam. Bunga tidur dalam pelukan embun, Namun kunang-kunang setia berlagu, tak pernah runtun. Ia menyapa kelopak dengan sinar lembayung, Menari lembut dalam diam yang agung. Malam menjadi kanvas yang tak pernah kaku, Kunang-kunang melukisnya dengan warna syahdu. Di atas bunga, ia menitipkan pesan, Bahwa keindahan lahir dari keikhlasan. Oh, kunang-kunang, sahabat bunga, Dalam gelap, kau jadikan ia bercahaya. Kehadiranmu mengajarkan makna, Bahwa terang sekecil apapun bisa membawa bahagia.

Hidup Itu Indah

Sembeng Tedeng  Hidup itu indah, apalagi saat taburan awan biru menghias langit yang tak pernah jemu. Bintang-bintang menjadi riasan malam, menggoda hati yang lelah dalam diam. Kita menyukai seseorang, diam-diam menyimpan rasa yang dalam, namun bibir enggan berkata, karena takut dia takkan pernah peka. Hati terus bertanya, akankah dia tahu? Ataukah rasa ini selamanya hanya menjadi rahasia di balik awan biru? Tapi bukankah itu indah? Mencintai tanpa syarat, tanpa harus memiliki, hanya menikmati kehadiran di semesta ini. Hidup itu indah, dengan atau tanpa balasan. Rasa yang kita punya, adalah keajaiban yang menyelimuti jiwa.

Di Minggu Ketiga Bulan Desember

Sembeng Tedeng  Di Minggu ketiga bulan Desember, Angin berbisik lembut di sela waktu, Membawa cerita daun-daun yang gugur, Dan langit yang pelan-pelan belajar biru. Detik-detik terasa lebih lambat, Seakan memberi ruang untuk kita berpikir, Tentang perjalanan yang telah terlewati, Dan langkah baru yang akan dipilih. Hujan turun menyingkap rindu, Pada harapan yang pernah kita bisikkan, Pada doa yang terselip di sudut senyap, Yang kini menanti untuk kembali dilangitkan. Di Minggu ketiga bulan Desember, Langit menyimpan setitik senja terakhir, Sebagai pengingat bahwa akhir adalah awal, Dan keindahan lahir dari yang pernah pudar. Mari genggam waktu yang tersisa, Membawa cinta, syukur, dan mimpi-mimpi, Menyambut Januari dengan hati penuh cahaya, Dan Desember, biarlah ia menjadi puisi.

Kain Songke, Selendang Songke, dan Kemeja Putih Simbol Pemuda yang Berjuang

Sembeng Tedeng Di pundakku, selendang songke menggantung, menyatu dengan nafas tanah leluhur, motif-motifnya melukis cerita, tentang perjuangan, doa, dan cinta yang tak pernah usai. Kain songke membalut tubuhku, hitamnya adalah keteguhan hati, benang-benang berwarna adalah harapan, yang dirajut oleh tangan para ibu, menghidupkan warisan dalam setiap helai. Kemeja putihku bersaksi, tentang niat tulus pemuda yang tak gentar, warnanya melambangkan kemurnian mimpi, untuk menjunjung tinggi adat dan masa depan. Aku berdiri, pemuda dari Manggarai, di antara bukit hijau dan nyanyian angin Flores. Pakaian ini bukan sekadar kain, tapi simbol perjuangan dan identitas, jiwa muda yang tak melupakan akar. Dalam balutan songke dan putihnya harapan, aku melangkah menuju esok yang cerah, membawa adat, membawa perubahan, aku pemuda Manggarai, penjaga masa depan.

Aku di bangku kuliah

Sembeng Tedeng  Aku duduk di sini, di bangku kuliah, Di antara mimpi-mimpi yang melayang, Menyusun masa depan dalam lembaran kertas, Menyerap ilmu yang terkadang terasa jauh dari hati. Kampus adalah panggung dunia kecilku,l Tempat aku belajar tentang makna kehidupan, Bukan hanya dari buku, Tapi dari tawa, air mata, dan persahabatan. Dosen berbicara tentang teori dan logika, Namun hidup mengajarkan rasa dan dilema. Di balik tugas yang menumpuk dan jadwal yang padat, Aku belajar arti tekad dan kesabaran yang hebat. Kadang aku merasa lelah, Tertatih dalam perjalanan panjang, Namun di sela lelah, ada harapan yang terus berpendar, Bahwa ilmu ini adalah jembatan menuju cita-cita besar. Di sini, aku bukan hanya belajar, Aku tumbuh, aku mencari, Jati diriku yang terselip di antara rapatnya ruangan, Dan mimpi yang terbentuk dalam langkah pelan. Aku di bangku kuliah, Bukan sekadar mahasiswa yang hadir dan absen, Tapi seorang pejuang masa depan, Yang melangkah pasti, meski kadang ...