Langsung ke konten utama

"Nikmat yang Sementara, Bekal yang Selamanya"

Sembeng Tedeng 
Uang Datang laksana hujan deras di musim kemarau,
membasahi dahaga, menyiram harapan,
lalu menghilang saat tanah mulai rindu,
meninggalkan debu di jejak kehidupan.

Ia menggiurkan,
kilauannya membutakan,
gemerincingnya mengalihkan hati dari makna,
seolah segalanya bisa dibeli,
seolah bahagia bisa dimiliki.

Tapi sungguh, nikmat itu hanya sesaat,
seperti bunga yang mekar sehari,
seperti mimpi indah yang terputus fajar,
setelah habis, kita kembali hampa,
mengejar lagi, dan lagi, tanpa jeda.

Namun pengalaman—
itulah yang menetap di dada.
Tak terbeli, tak tertukar,
meski sederhana, ia membentuk jiwa.
Dalam lelahnya, dalam jatuhnya,
tersimpan kebijaksanaan yang tak bisa dicuri waktu.

Mencari uang itu perlu,
sebab hidup tak hanya tentang langit,
ada dapur, ada langkah, ada tanggung jawab yang wajib.
Tapi jangan lupa arah,
jangan hilang arah di tengah gelombang hasrat.

Pepatah tua telah lama berkata:
“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian.”
Berpayah-payah dahulu,
berkeringat dalam diam,
berjuang dalam senyap,
demi esok yang tenang di pantai harapan.

Namun berakit bukan berarti karam,
dan berenang bukan berarti tenggelam.
Semua luka, semua gagal, semua jatuh,
akan jadi cerita yang mendewasakan.
Itulah harta sejati yang tak terlihat,
tak tercetak di lembar rupiah,
tapi tergurat dalam diri.

Jadi bila kau lelah mencari,
ingatlah: uang memang penting,
tapi ia tak bisa menggantikan rasa syukur,
tak bisa membeli damai saat malam,
tak bisa mengganti pelukan hangat,
atau tawa yang jujur dari hati yang tenang.

Kejarlah uang,
tapi lebih dari itu, kejarlah makna.
Kumpulkan pengalaman, bukan sekadar lembaran.
Sebab saat tubuh renta,
dan waktu telah memudar,
bukan jumlah harta yang kau kenang—
tapi perjalanan yang kau tempuh,
dan siapa yang kau jadi karenanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku di bangku kuliah

Sembeng Tedeng  Aku duduk di sini, di bangku kuliah, Di antara mimpi-mimpi yang melayang, Menyusun masa depan dalam lembaran kertas, Menyerap ilmu yang terkadang terasa jauh dari hati. Kampus adalah panggung dunia kecilku,l Tempat aku belajar tentang makna kehidupan, Bukan hanya dari buku, Tapi dari tawa, air mata, dan persahabatan. Dosen berbicara tentang teori dan logika, Namun hidup mengajarkan rasa dan dilema. Di balik tugas yang menumpuk dan jadwal yang padat, Aku belajar arti tekad dan kesabaran yang hebat. Kadang aku merasa lelah, Tertatih dalam perjalanan panjang, Namun di sela lelah, ada harapan yang terus berpendar, Bahwa ilmu ini adalah jembatan menuju cita-cita besar. Di sini, aku bukan hanya belajar, Aku tumbuh, aku mencari, Jati diriku yang terselip di antara rapatnya ruangan, Dan mimpi yang terbentuk dalam langkah pelan. Aku di bangku kuliah, Bukan sekadar mahasiswa yang hadir dan absen, Tapi seorang pejuang masa depan, Yang melangkah pasti, meski kadang ...

Aku Hanya Laki Laki Biasa

Sembeng Tedeng  Randi hanyalah lelaki biasa, tak memiliki banyak harta atau jabatan. Hidupnya sederhana, bekerja sebagai teknisi listrik di sebuah kota kecil. Setiap pagi, ia bangun dini hari, menyeduh kopi hitam, lalu berangkat mencari rezeki. Dalam hidupnya, hanya ada satu hal yang ia anggap paling berharga: Nirmala, istrinya. Nirmala adalah wanita cantik, ceria, dan penuh pesona. Randi tak pernah mengira ia bisa menikahi perempuan seindah Nirmala. Meski sering merasa dirinya tak cukup pantas, Randi berusaha menjadi suami yang baik. Namun, pernikahan mereka perlahan berubah menjadi dingin. Nirmala mulai sering pulang larut malam. Ia berkata sedang bekerja lembur di sebuah kantor yang baru ia masuki. Tapi Randi mulai curiga saat melihat perubahan sikap istrinya. Nirmala lebih sering sibuk dengan ponselnya, tersenyum sendiri saat menerima pesan. Suatu malam, ketika Nirmala tertidur, Randi tanpa sengaja melihat notifikasi pesan di layar ponsel istrinya. Nama yang muncul ...

Kain Songke, Selendang Songke, dan Kemeja Putih Simbol Pemuda yang Berjuang

Sembeng Tedeng Di pundakku, selendang songke menggantung, menyatu dengan nafas tanah leluhur, motif-motifnya melukis cerita, tentang perjuangan, doa, dan cinta yang tak pernah usai. Kain songke membalut tubuhku, hitamnya adalah keteguhan hati, benang-benang berwarna adalah harapan, yang dirajut oleh tangan para ibu, menghidupkan warisan dalam setiap helai. Kemeja putihku bersaksi, tentang niat tulus pemuda yang tak gentar, warnanya melambangkan kemurnian mimpi, untuk menjunjung tinggi adat dan masa depan. Aku berdiri, pemuda dari Manggarai, di antara bukit hijau dan nyanyian angin Flores. Pakaian ini bukan sekadar kain, tapi simbol perjuangan dan identitas, jiwa muda yang tak melupakan akar. Dalam balutan songke dan putihnya harapan, aku melangkah menuju esok yang cerah, membawa adat, membawa perubahan, aku pemuda Manggarai, penjaga masa depan.