Langsung ke konten utama

Aku Hanya Laki Laki Biasa

Sembeng Tedeng 

Randi hanyalah lelaki biasa, tak memiliki banyak harta atau jabatan. Hidupnya sederhana, bekerja sebagai teknisi listrik di sebuah kota kecil. Setiap pagi, ia bangun dini hari, menyeduh kopi hitam, lalu berangkat mencari rezeki. Dalam hidupnya, hanya ada satu hal yang ia anggap paling berharga: Nirmala, istrinya.

Nirmala adalah wanita cantik, ceria, dan penuh pesona. Randi tak pernah mengira ia bisa menikahi perempuan seindah Nirmala. Meski sering merasa dirinya tak cukup pantas, Randi berusaha menjadi suami yang baik. Namun, pernikahan mereka perlahan berubah menjadi dingin.

Nirmala mulai sering pulang larut malam. Ia berkata sedang bekerja lembur di sebuah kantor yang baru ia masuki. Tapi Randi mulai curiga saat melihat perubahan sikap istrinya. Nirmala lebih sering sibuk dengan ponselnya, tersenyum sendiri saat menerima pesan.

Suatu malam, ketika Nirmala tertidur, Randi tanpa sengaja melihat notifikasi pesan di layar ponsel istrinya. Nama yang muncul adalah "Guna". Isi pesannya membuat hati Randi hancur:
"Aku rindu senyummu, sayang. Semoga cepat bisa bertemu lagi besok."

Hati Randi bergetar. Nama Guna, seorang rekan kerja Nirmala, pernah disebut istrinya beberapa kali. "Dia cuma teman kantor," kata Nirmala saat itu. Namun, kenyataan ternyata jauh lebih pahit.

Randi mencoba bertahan. Ia mencintai Nirmala, dan ia tak ingin menyerah. Suatu malam, ia memberanikan diri bertanya, "Apa kamu bahagia hidup denganku, Nirmala?"

Nirmala menghela napas panjang. Matanya menghindar. "Aku lelah, Randi. Kamu baik, tapi kita terlalu berbeda. Aku butuh seseorang yang bisa memberiku lebih."

Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Randi. Ia mencoba menahan air matanya. Ia tahu, Nirmala sudah membuat pilihannya. Guna bukan sekadar rekan kerja; ia adalah pilihan baru Nirmala.

Hari itu, Randi memutuskan untuk melepaskan Nirmala. Ia tahu ia tak bisa memaksa seseorang yang tak lagi mencintainya. Proses perceraian mereka berjalan cepat, dan dalam hitungan minggu, Nirmala pergi meninggalkan rumah mereka.

Randi tetap melanjutkan hidupnya, meski ada luka yang terus menganga di dalam hatinya. Ia menyibukkan diri dengan pekerjaannya, mencoba melupakan rasa sakit yang ditinggalkan Nirmala.

Meski ia hanya lelaki biasa dan tak mapan, Randi tahu satu hal: cintanya tulus. Suatu hari nanti, ia yakin akan menemukan seseorang yang melihat nilai dirinya, bukan hanya harta atau keadaan. Hingga saat itu tiba, Randi memilih tetap berdiri kokoh, meski sendirian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku di bangku kuliah

Sembeng Tedeng  Aku duduk di sini, di bangku kuliah, Di antara mimpi-mimpi yang melayang, Menyusun masa depan dalam lembaran kertas, Menyerap ilmu yang terkadang terasa jauh dari hati. Kampus adalah panggung dunia kecilku,l Tempat aku belajar tentang makna kehidupan, Bukan hanya dari buku, Tapi dari tawa, air mata, dan persahabatan. Dosen berbicara tentang teori dan logika, Namun hidup mengajarkan rasa dan dilema. Di balik tugas yang menumpuk dan jadwal yang padat, Aku belajar arti tekad dan kesabaran yang hebat. Kadang aku merasa lelah, Tertatih dalam perjalanan panjang, Namun di sela lelah, ada harapan yang terus berpendar, Bahwa ilmu ini adalah jembatan menuju cita-cita besar. Di sini, aku bukan hanya belajar, Aku tumbuh, aku mencari, Jati diriku yang terselip di antara rapatnya ruangan, Dan mimpi yang terbentuk dalam langkah pelan. Aku di bangku kuliah, Bukan sekadar mahasiswa yang hadir dan absen, Tapi seorang pejuang masa depan, Yang melangkah pasti, meski kadang ...

Kain Songke, Selendang Songke, dan Kemeja Putih Simbol Pemuda yang Berjuang

Sembeng Tedeng Di pundakku, selendang songke menggantung, menyatu dengan nafas tanah leluhur, motif-motifnya melukis cerita, tentang perjuangan, doa, dan cinta yang tak pernah usai. Kain songke membalut tubuhku, hitamnya adalah keteguhan hati, benang-benang berwarna adalah harapan, yang dirajut oleh tangan para ibu, menghidupkan warisan dalam setiap helai. Kemeja putihku bersaksi, tentang niat tulus pemuda yang tak gentar, warnanya melambangkan kemurnian mimpi, untuk menjunjung tinggi adat dan masa depan. Aku berdiri, pemuda dari Manggarai, di antara bukit hijau dan nyanyian angin Flores. Pakaian ini bukan sekadar kain, tapi simbol perjuangan dan identitas, jiwa muda yang tak melupakan akar. Dalam balutan songke dan putihnya harapan, aku melangkah menuju esok yang cerah, membawa adat, membawa perubahan, aku pemuda Manggarai, penjaga masa depan.