Sembeng Tedeng
Hujan, kau curang—
Rintikmu memaksaku kembali
pada bilik dimensi pilu
atas kejadian kala dulu,
dan kini aku memaknai sebagai sendu.
Kau turun perlahan,
seperti kenangan yang tak pernah usai mengetuk,
membasahi relung batin
yang selama ini kututup rapat dengan pura-pura kuat.
Ada aroma tanah basah
yang menyamar sebagai kenyamanan,
padahal sesungguhnya ia adalah pintu
yang kau dobrak untuk menjemput luka-luka lama.
Hujan, mengapa kau selalu tahu
waktu yang paling lemah untuk datang?
Saat aku telah berdamai dengan sunyi,
kau hadir membawa gema nama yang telah lama kutelan dalam diam.
Setiap tetesmu adalah gema langkahnya,
setiap anginmu adalah bisikan yang dulu meninabobokan jiwaku.
Kini semua itu kembali,
tak diundang, tapi tak bisa kutolak.
Aku berjalan di bawahmu,
tanpa payung, tanpa arah,
hanya berusaha menyatu
agar tangisku tak tampak mencolok di antara derasmu.
Langit kelabu seakan paham,
ia menyembunyikan mentari
agar aku bebas menumpahkan sesak
tanpa pertanyaan, tanpa penghakiman.
Hujan, kau curang—
kau buatku mengingat,
bukan karena aku ingin,
tapi karena kau tahu aku belum benar-benar lupa.
Dan yang lebih menyakitkan dari kehilangan,
adalah harus bertemu kembali dengan kenangan
saat aku sedang belajar menjadi seseorang yang utuh.
Hujan, jika kau bisa dengar,
berhentilah sejenak.
Berilah jeda bagi hati
yang tak lagi mampu menampung genangan luka.
Namun aku tahu,
kau tak akan peduli.
Karena curangmu adalah cara semesta
mengajarkanku tentang arti rindu
yang tak selalu harus dimiliki.
Hujan, kau curang—
Rintikmu memaksaku kembali
pada bilik dimensi pilu
atas kejadian kala dulu,
dan kini aku memaknai sebagai sendu.
Kau turun perlahan,
seperti kenangan yang tak pernah usai mengetuk,
membasahi relung batin
yang selama ini kututup rapat dengan pura-pura kuat.
Ada aroma tanah basah
yang menyamar sebagai kenyamanan,
padahal sesungguhnya ia adalah pintu
yang kau dobrak untuk menjemput luka-luka lama.
Hujan, mengapa kau selalu tahu
waktu yang paling lemah untuk datang?
Saat aku telah berdamai dengan sunyi,
kau hadir membawa gema nama yang telah lama kutelan dalam diam.
Setiap tetesmu adalah gema langkahnya,
setiap anginmu adalah bisikan yang dulu meninabobokan jiwaku.
Kini semua itu kembali,
tak diundang, tapi tak bisa kutolak.
Aku berjalan di bawahmu,
tanpa payung, tanpa arah,
hanya berusaha menyatu
agar tangisku tak tampak mencolok di antara derasmu.
Langit kelabu seakan paham,
ia menyembunyikan mentari
agar aku bebas menumpahkan sesak
tanpa pertanyaan, tanpa penghakiman.
Hujan, kau curang—
kau buatku mengingat,
bukan karena aku ingin,
tapi karena kau tahu aku belum benar-benar lupa.
Dan yang lebih menyakitkan dari kehilangan,
adalah harus bertemu kembali dengan kenangan
saat aku sedang belajar menjadi seseorang yang utuh.
Hujan, jika kau bisa dengar,
berhentilah sejenak.
Berilah jeda bagi hati
yang tak lagi mampu menampung genangan luka.
Namun aku tahu,
kau tak akan peduli.
Karena curangmu adalah cara semesta
mengajarkanku tentang arti rindu
yang tak selalu harus dimiliki.
Komentar
Posting Komentar