"Aku Pria yang Biasa Saja, Penampilan Sederhana, Tak Punya Apa-Apa, Bagaikan Senja yang Tak Berwarna, Sering Diabaikan oleh Apa pun Itu"
Aku hanyalah pria yang biasa saja,
tak tinggi, tak gagah, tak rupawan rupa.
Langkahku tak gagah, tuturku sederhana,
tak banyak yang sudi mendengar cerita.
Pakaianku bukan hasil butik ternama,
hanya kain yang cukup untuk menutup rasa,
sepatu yang tak baru, jam tangan lama,
tak ada kilau, tak ada istimewanya.
Tak kuasai dunia, tak kugenggam kuasa,
dompetku tipis, impianku sederhana.
Orang berkata: hidup harus mengejar cahaya—
tapi aku berjalan di bayang-bayangnya.
Aku bukan lelaki yang membuat mata terpaku,
tak dikenal dalam riuh pertemuan,
namaku bukan tajuk berita
hanya hadir, dan kerap tak disapa.
Seperti senja yang tak membawa warna,
yang tak jingga, tak merah, tak biru langit tua—
hanya langit kusam, nyaris tak bersuara,
yang hadir namun tak ditunggu siapa-siapa.
Orang menoleh pada pelangi,
menunggu cahaya jatuh di ufuk pagi.
Tapi tak ada yang ingin menulis tentang aku,
yang bagai senja pudar di sudut waktu.
Aku tahu rasanya menjadi angin,
yang menyentuh tanpa pernah disadari,
aku tahu rasanya menjadi hujan gerimis,
yang datang lalu hilang, tanpa arti.
Tapi bukan berarti aku tak punya hati,
aku mencintai dengan sepenuh sunyi.
Aku memandang bulan dari kejauhan,
meski tahu sinarnya tak pernah untukku.
Aku bicara pada malam,
bercerita tentang mimpi yang tak kupunya,
dan malam mendengarku tanpa menjawab,
karena ia tahu, aku hanya butuh didengar.
Aku, pria biasa yang tak punya apa-apa,
hanya keyakinan bahwa ada makna,
di balik hidup yang tak mengilap,
di balik langkah yang perlahan dan senyap.
Jangan tanya padaku tentang prestasi,
tanyalah bagaimana aku tetap berdiri,
di tengah hidup yang menertawakan sepi,
di antara mimpi-mimpi yang patah dan pergi.
Meski aku bukan siapa-siapa,
aku tetap ada, dan itu cukup.
Karena menjadi nyata di dunia yang palsu
adalah keberanian paling jujur yang kupunya.
Komentar
Posting Komentar